I.
PROLOG
Manusia memerlukan pendidikan untuk
pembentukan karakter atau kepribadian dirinya. Sebagaimana dikemukakan oleh
Sudiarja (2007:4) bahwa pernyataan
singkat itu memuat berbagai hal yang diasumsikan oleh filsafat pendidikan
sebagai prasyarat. Pertama, manusia mempunyai kesadaran yang membuat dirinya
mampu mengambil jarak dari yang lain dan dari dirinya sendiri. Dalam proses
pendidikan kesadaran berperan penting dalam mengetahui diri sebagai subjek dan
keistimewaannya dibandingkan dengan makluk lain. Dalam proses konstruksi,
manusia mampu melakukan eksternalisasi, internalisasi, dan objektivasi. Kedua,
manusia mempunyai atau merasakan kebebasan. Hal ini berkaitan dengan konsep
pendidikan sebagai dorongan dan kemampuan untuk menentukan pilihan. Ketiga,
manusia mempunyai kemampuan untuk memilih, peka dan peduli akan nilai-nilai dan
dapat membandingkan yang baik dan buruk. Keempat, pilihan ke arah yang baik
berlangsung terus tiada henti. Terdapat keterbukaan manusia terhadap yang
transenden, kesediaan untuk melangkah ke
depan yang belum diketahuinya. Kesadaran, kebebasan, peduli nilai, dan
keterbukaan atau orientasi ke depan merupakan hal-hal yang mendasar dalam
proses pendidikan.
Dalam proses pendidikan, terutama pendidikan
karakter maka sastra dapat dimanfaatkan untuk tujuan tersebut. Dalam konteks
ini, pembelajaran pendidikan karakter mempunyai dua pola yakni eksplisit dan
implisit. Pendidikan yang eksplisit berupa yakni direct instruction. Pola ini mudah untuk dilakukan bagi guru atau
orang tua, akan tetapi sering kali mendapatkan resistensi dari peserta didik.
Hal ini disebabkan (1) direct instruction,
berupa perintah dan secara psikologis orang akan cenderung menolak jika
diberlakukan seperti ini, (2) direct
instruction sering kali kehilangan konteks, dalam arti bahwa guru yang
memerintahkan tersebut sering kali tanpa memberi contoh, (3) implikasi dari
yang kedua bahwa siswa atau anak tidak mempunyai model untuk tindakan yang
harus dilakukan, (4) sering kali terjadi kesenjangan antara ideal tipe yang harus dilakukan oleh
anak dengan kenyataan yang terpapar dihadapan anak.
Sedangkan, pola pembelajaran yang implisit
dilakukan dengan cara membelajarkan anak dalam tindakan yang nyata. Dalam hal
ini, anak diajak untuk bertindak atau melakukan sesuatu bersama-sama dengan
guru. Keunggulan dari pola implisit ini adalah: (1) peserta didik mengalami
langsung apa yang harus dilakukan dalam suasana yang senyatanya, (2) peserta
didik mendapatkan model dari guru yang membelajarkannya, (3) peserta didik
tidak merasa terpaksa untuk melakukan hal tersebut sehingga tidak terjadi
resistensi dalam dirinya, (4) karena peserta didik mengalami apa yang dilakukan
maka terjadi internalisasi perilaku, (5) dengan adanya internalisasi perilaku
dan nilai pada peserta didik maka terbentuklah karakter yang diinginkan.
II.
PENDIDIKAN KARAKTER
Transformasi
budaya terjadi secara kompleks dengan segala intensitas dan masifitasnya dari
budaya agraris ke pasca-industri terjadi dalam kurun waktu yang singkat dan
serba menggoncang. Ciri utama dari proses tersebut adalah banyak hal cepat
menjadi out-of date dan banyak hal
muncul secara tak terduga bagai meteor dan supernova. Maka, siswa harus siap
dan cukup dibekali sesuatu begitu memekarkan diri serta kepribadian, sehingga
menghadapi segala perubahan mendadak dan goncangan itu tidak gentar[1].
Pendidikan tidak dalam kerangka agar siswa siap pakai,
melainkan agar dia mekar menjadi sumber sendiri yang hidup dan menghidupi
sendiri. Dalam konteks seperti itu, terdapat beberapa hal utama yang mendasar
dan vital untuk mendapat perhatian serius. Pertama, segi karakter, dunia sikap,
ketakwaan, dan mental-spiritual. Kedua, penguasaan bahasa yakni bahasa nasional
dan bahasa asing tertentu. Menguasai bahasa adalah menguasai budaya bangsa yang
bersangkutan. Penguasaan bahasa dalam zaman transformatif yang tak terduga adalah
kunci kemajuan dan adaptasi diri.
Ketiga, penguasaan orientasi diri. Dalam hal ini dapat
berdimensi fisik dan mental spiritual. Hal ini dapat diaplikasikan melalui
menta spiritual. Keempat, penumbuhan the
joy of clearand exact thinking, namun juga kesadaran akan kegunaannya dalam
hidup sehari-hari. Kelima, belajar bekerja sama, membentuk tim, dan
berorganisasi. Yang berimplikasi pada pendidikan jiwa fair-play serta realisasi dari dimensi homo-ludens.
Pertanyaan selanjutnya adalah ”demi apa dan
sasaran apa yang hendak dicapai?” Pendidikan
harus diarahkan pada proses emansipasi peserta didik. Non multa sed multum bukan yang tahu
banyak tetapi yang tahu mendalam. Multum
(tahu mendalam) tidak muncul dari sistem dril dan hapalan. Suatu sistem yang
mendasarkan diri pada dril dan hafalan belaka hanya menumbuhkan yang multa (tahu banyak, tetapi tidak
mendalam) yang siap pakai dalam arti siap-disuruh[2].
Bertolak dari pemikiran tersebut, maka
menurut Mangunwijaya (2004:8) setidak-tidaknya terdapat tiga sasaran utama yang
harus dikejar dalam pendidikan emansipatoris yakni: (1) manusia yang
eksplorator, suka mencari, suka resiko demi sesuatu dalam terra incognita (wilayah tak dikenal). Manusia eksplorator yang
tidak pernah puas dengan horison- horison yang ada tetapi terus membuat
investigasi dan mencari. (2) manusia kreatif, manusia pembaharu yang
menghormati tradisi dan warisan, meskipun demikian bersedia menjelajah ke dalam
wilayah baru yang inovatif. Dan (3)
manusia integral, mampu membuat harmoni di antara yang banyak, yang sadar
multidimensionalitas kehidupan dan realita, yang paham akan kemungkinan
jalan-jalan alternatif atau tidak disintegrated[3].
Dengan demikian, pendidikan karakter mencakup
berbagai aspek pengajaran dan pembelajaran bagi perkembangan personal. Bersifat
multi-faceted, setiap komponen
memberikan perbedaan tekanan tentang apa yang penting dan apa yang semestinya
diajarkan. Area pengajaran dan pembelajarannya meliputi pengembangan kognitif,
pembelajaran sosial dan emosional, dan etika/moral (baca spiritual). Ia merupakan pendekatan yang
holistik yang menghubungkan berbagai dimensi kecerdasan dengan ranah sosial dan
sipil dari kehidupan siswa. Sikap dan nilai masyarakat diidentifikasi dan
diteguhkan di sekolah dan komunitas (Latief, 2007:39).
Berkaitan dengan hal tersebut, Kidder dalam
Latief (2007:40-41) memerikan beberapa aspek yang diperlukan untuk program
pendidikan karakter yang berhasil. Aspek-aspek itu meliputi: (1) empowered, guru harus diberdayakan untuk
mengajarkan pendidikan karakter, karena masyarakat menghendaki. (2) effective, Kidder menyatakan bahwa
“ketika kita melakukan intervensi dalam proses pendidikan karakter, siswa
menjadi mengerti tentang banyak hal yang sebelumnya tak mereka pahami. Suatu
proses pendidikan yang benar-benar meningkatkan kemampuan penalaran mereka.”
(3) extended into the community,
komunitas harus mendorong dan menolong sekolah memahami nilai-nilai yang
penting kemudian mendukungnya. Sebaliknya, dalam menyusun program pendidikan,
sekolah harus melibatkan komunitas. (4) embedded,
pendidikan karakter harus bersifat integratif dengan seluruh bidang studi.
Dengan kata lain, integrasikan pendidikan hendaknya ke dalam seluruh rangkaian
kurikulum dan proses pembelajarannya. (5) engaged,
buatlah komunitas terlibat dengan menyodorkan topik-topik yang mereka rasa
sangat penting dan dibutuhkan. Misalnya, ketika guru mengajarkan keterampilan
komputer atau internet pada siswa, maka mulailah dengan membicarakan segi-segi
etik dalam menggunakan komputer atau internet. (6) epistimological, kembangkan kerangka konseptual, suatu cara untuk
mengembangkan soal etika. Mesti ada korespondensi dan koherensi antara cara
berpikir tentang makna etik dengan upaya menolong siswa untuk mampu
menerapkannya secara baik. (7) evaluatif,
dalam hal ini Kidder menawarkan gradasi penerapannya yang meliputi (a)
kesadaran etik, (b) kepercayaan diri untuk berpikir tentang dan membuat
keputusan etik, (c) kapasitas untuk menggunakan kepercayaan diri itu secara
praktis dalam kehidupan seseorang dan atau komunitas, dan (d) kapasitas untuk
menjadi agen perubahan, yakni merealisasikan ide-ide etik dan membuat dunia
yang berbeda.
Selain itu, hal penting lainnya yang
ditekankan adalah pentingnya kaitan pengetahuan moral (moral judgment) dengan perilaku aktual (actual conduct) dalam siatuasi konkrit (moral situations). Problem lebih lanjut adalah bahwa keputusan
moral sebagai tindakan aktual ditentukan dalam konteks situasi yang konkret.
Situasi moral yang berbeda bisa mempengaruhi keputusan tindakan moral yang
berbeda.
III.
MULTIPLE-INTELLEGENCES
Pendidikan karakter seperti yang dipaparkan
di atas baru merespon dimensi pembentukan karakter tertentu saja yakni kualitas
moral, kepercayaan, dan kejujuran. Terdapat dimensi lain yang juga perlu
diperhatikan dalam proses pendidikan, kesadaran akan potensi dan kapasitasnya
yang khas membedakan dirinya dari orang lain. Aktualisasi kesadaran ini adalah
pemupukan keandalan khusus seseorang yang memungkinkan memiliki daya tahan dan
daya saing dalam perjuangan hidup. Keandalan ini berkaitan dengan optimalisasi
ragam potensi yang memuliakan ragam intelegensi manusia[4].
Pendidikan yang mengakui adanya ragam
intelegensi berarti pendidikan yang mengakui adanya keunikan individu
pembelajar. Pendidikan harus menghilangkan diskriminasi manusia berdasarkan
jenis intelegensi tertentu (yang menganggap orang dengan intelegensi lain
sebagai bodoh). Pendidikan harus memberi ruang aktualisasi bagi keragaman
intelegensi (multiple-intellegences)
siswa, yang mencakup kecerdasan linguistik, logik-matematik, spasial, musik,
kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan natural (Gardner, 1993).
Pendidikan yang berupaya memuliakan ragam
intelegensi mengandung konsekwensi bagi pelaksanaan pembelajaran. Perlu ada
perubahan orientasi pemahaman terhadap peserta didik, bahwa sesungguhnya tidak
ada manusia bodoh. Karena setiap orang memiliki karakter dan potensi
intelegensi yang berbeda-beda. Hal ini berimplikasi terhadap sistem
pembelajaran dari class-centered menuju
individual-centered. Kurikulum inti dibuat lebih terbatas untuk memberi
keleluasaan siswa mengambil mata pelajaran pilihan sesuai dengan minat dan
bakatnya.
Dengan kata lain, esensi kecerdasan majemuk
hendaknya (1) menghormati keunikan setiap siswa, (2) adanya beragam variasi cara
belajar, (3) tersedianya sejumlah model penilaian, dan (4) terdapat cara yang
hampir tak terbatas dalam mengaktualisasikan diri. Oleh karena itu,
sekolah/guru dan masyarakat harus mereposisi diri dan pandangannya mengenai
siswa dan sistem pembelajaran untuk secara bersama-sama membentuk “habitus
baru” yang lebih cocok.
Konsekuensinya, peran guru bergeser dari
peran tradisional. Dalam hal ini guru harus berperan sebagai penilai untuk
memantau potensi dan kecenderungan masing-masing siswa, membantu siswa memilih
mata pelajaran yang cocok, dan menghubungkan dengan komunitas belajar yang
lebih luas guna mendapatkan pengalaman belajar langsung dari dunia nyata.
Sebaliknya, guru juga harus diberi kebebasan yang lebih luas untuk
mengembangkan kreativitas dan inovasinya dalam proses pengajaran.
IV.
EPILOG
Pendidikan karakter diberikan secara
terfragmentasi, bersifat verbalisme satu arah, dan kehilangan konteks. Dengan
kata lain, pendidikan karakter dilakukan secara terisolasi dengan tidak
memberikan wahana kepada siswa suatu pengalaman terstruktur untuk menghubungkan
moral judgement dan moral stuations yang dihadapinya.
Dalam arena yang berbeda, kita melakukan Non multum sed multa. Diskriminasi
individu atas dasar intelegensi tertentu terus dirayakan, melalui sistem
penjurusan dan ujian nasional sebagai ukuran utama dan satu-satunya untuk
menempatkan orang sebagai warga kelas satu dan kelas dua. Kegagalan pada dua
dimensi pendidikan karakter itu, nama Indonesia terkenal karena kisah yang
buruk, sebagai bangsa yang korup, mentalitas lembek, dan daya saing lemah.
Daftar Pustaka
Gardner,
H., 1995. Multiple Intellegences: A.
Reader. New York: BasicBooks.
Hayatmoko.
2008. Sekolah, Alat Reproduksi
Kesenjangan Sosial: Analisis Kritis Pierre Bourdieu, dalam Basis No. 07-08.
Yogyakarta.
Illich,
Ivan. 2008. Bebaskan Masyarakat dari
Belenggu Sekolah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Latief,
Yudi. 2007. Hancur Karakter Hancur
Bangsa: Urgensi Pendidikan Karakter, dalam
Basis No 07-08. Yogyakarta.
Manguwijaya,
Y.B. 2004. Pendidikan Pemerdekaan.
Dinamika Edukasi Dasar Misereor. Yogyakarta.
Sindhunata.
2008. Membuka Masa Depan Anak-Anak Kita:
Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI. Yogyakarta: Kanisius.
Sindhunata.
2008. Melawan Pendidikan Turbo: Refleksi
Ki Hadjar Dewantara, dalam Basis No. 07-08. Yogyakarta.
Sudiarja,
A. 2008. Driyarkara: Pendidikan
Kepribadian Nasional, dalam Basis No 07-08. Yogyakarta.
[1] Dalam situasi seperti itu,
sistem pendidikan kita adalah belajar
untuk seumur hidup. Dengan dilengkapi sikap seluruh masyarakat adalah sekolah, semua orang adalah guru, dan
padaakhirnyasemua orang adalah murid. Selain itu membanjirnya arus
informasi dengan segala bentuk dan wujud ke dalam masyarakat kita, di satu sisi
sangat relevan dan berharga, tetapi di sisi lain bertentangan bahkan merugikan.
Oleh karena itu, sistem pendidikan harus dapat memberi kemampuan pada siswa
untuk dapat sampai pada informasi yang tepat dan kemudian menseleksinya.
[2] Model pembelajaran kita
sesunguhnya berada dalam ”kebingungan”, model CTL sesungguhnya untuk
mendapatkan yang multum, tetapi UNAS
telah memerosotkan sistem itu ke dalam multa
karena ketakutan yang dialami oleh para pengajar terhadap ancaman
ketidaklulusan.
[3] Prinrip pendidikan yang
sejati yakni ajrih-asih mendampingi,
persuasi, sabar, ing ngarso sung tuladha,
ing madya mangun (menumbuhkan di dalam diri anak) karso, dan tut wuri
handayani (siswa sebagai pelaku utama). Oleh karena itu, pendidikan atau
sekolah merupakan habitus dalam berpikir, bertindak, dan bersikap bagi siswa
maka jika habitus itu “negatif” maka sekolah bisa menjadi candu atau belunggu
bagi anak-anak.
[4]
Sebagaimana dikatakan oleh Bourdieu bahwa pendidikan memberikan bukan sekedar
skemata bagi perbedaan kelas dan prinsip fundamental bagi pemapanan tertib
sosial, tetapi juga menjadi katalis bagi perjuangan kuasa yang kompetitif.