Rabu, 24 April 2013

SASTRA, PENDIDIKAN KARAKTER DAN MULTIPLE-INTELLEGENCES



I.   PROLOG
Manusia memerlukan pendidikan untuk pembentukan karakter atau kepribadian dirinya. Sebagaimana dikemukakan oleh Sudiarja (2007:4)  bahwa pernyataan singkat itu memuat berbagai hal yang diasumsikan oleh filsafat pendidikan sebagai prasyarat. Pertama, manusia mempunyai kesadaran yang membuat dirinya mampu mengambil jarak dari yang lain dan dari dirinya sendiri. Dalam proses pendidikan kesadaran berperan penting dalam mengetahui diri sebagai subjek dan keistimewaannya dibandingkan dengan makluk lain. Dalam proses konstruksi, manusia mampu melakukan eksternalisasi, internalisasi, dan objektivasi. Kedua, manusia mempunyai atau merasakan kebebasan. Hal ini berkaitan dengan konsep pendidikan sebagai dorongan dan kemampuan untuk menentukan pilihan. Ketiga, manusia mempunyai kemampuan untuk memilih, peka dan peduli akan nilai-nilai dan dapat membandingkan yang baik dan buruk. Keempat, pilihan ke arah yang baik berlangsung terus tiada henti. Terdapat keterbukaan manusia terhadap yang transenden, kesediaan  untuk melangkah ke depan yang belum diketahuinya. Kesadaran, kebebasan, peduli nilai, dan keterbukaan atau orientasi ke depan merupakan hal-hal yang mendasar dalam proses pendidikan.

Dalam proses pendidikan, terutama pendidikan karakter maka sastra dapat dimanfaatkan untuk tujuan tersebut. Dalam konteks ini, pembelajaran pendidikan karakter mempunyai dua pola yakni eksplisit dan implisit. Pendidikan yang eksplisit berupa yakni direct instruction. Pola ini mudah untuk dilakukan bagi guru atau orang tua, akan tetapi sering kali mendapatkan resistensi dari peserta didik. Hal ini disebabkan (1) direct instruction, berupa perintah dan secara psikologis orang akan cenderung menolak jika diberlakukan seperti ini, (2) direct instruction sering kali kehilangan konteks, dalam arti bahwa guru yang memerintahkan tersebut sering kali tanpa memberi contoh, (3) implikasi dari yang kedua bahwa siswa atau anak tidak mempunyai model untuk tindakan yang harus dilakukan, (4) sering kali terjadi kesenjangan antara ideal tipe yang harus dilakukan oleh anak dengan kenyataan yang terpapar dihadapan anak.  
Sedangkan, pola pembelajaran yang implisit dilakukan dengan cara membelajarkan anak dalam tindakan yang nyata. Dalam hal ini, anak diajak untuk bertindak atau melakukan sesuatu bersama-sama dengan guru. Keunggulan dari pola implisit ini adalah: (1) peserta didik mengalami langsung apa yang harus dilakukan dalam suasana yang senyatanya, (2) peserta didik mendapatkan model dari guru yang membelajarkannya, (3) peserta didik tidak merasa terpaksa untuk melakukan hal tersebut sehingga tidak terjadi resistensi dalam dirinya, (4) karena peserta didik mengalami apa yang dilakukan maka terjadi internalisasi perilaku, (5) dengan adanya internalisasi perilaku dan nilai pada peserta didik maka terbentuklah karakter yang diinginkan.

II.    PENDIDIKAN KARAKTER
        Transformasi budaya terjadi secara kompleks dengan segala intensitas dan masifitasnya dari budaya agraris ke pasca-industri terjadi dalam kurun waktu yang singkat dan serba menggoncang. Ciri utama dari proses tersebut adalah banyak hal cepat menjadi out-of date dan banyak hal muncul secara tak terduga bagai meteor dan supernova. Maka, siswa harus siap dan cukup dibekali sesuatu begitu memekarkan diri serta kepribadian, sehingga menghadapi segala perubahan mendadak dan goncangan itu tidak gentar[1].  
          Pendidikan tidak dalam kerangka agar siswa siap pakai, melainkan agar dia mekar menjadi sumber sendiri yang hidup dan menghidupi sendiri. Dalam konteks seperti itu, terdapat beberapa hal utama yang mendasar dan vital untuk mendapat perhatian serius. Pertama, segi karakter, dunia sikap, ketakwaan, dan mental-spiritual. Kedua, penguasaan bahasa yakni bahasa nasional dan bahasa asing tertentu. Menguasai bahasa adalah menguasai budaya bangsa yang bersangkutan. Penguasaan bahasa dalam zaman transformatif yang tak terduga adalah kunci kemajuan dan  adaptasi diri. Ketiga,  penguasaan  orientasi diri. Dalam hal ini dapat berdimensi fisik dan mental spiritual. Hal ini dapat diaplikasikan melalui menta spiritual. Keempat, penumbuhan the joy of clearand exact thinking, namun juga kesadaran akan kegunaannya dalam hidup sehari-hari. Kelima, belajar bekerja sama, membentuk tim, dan berorganisasi. Yang berimplikasi pada pendidikan jiwa fair-play serta realisasi dari dimensi homo-ludens.
Pertanyaan selanjutnya adalah ”demi apa dan sasaran apa yang hendak dicapai?” Pendidikan  harus diarahkan pada proses emansipasi peserta didik. Non multa sed multum bukan yang tahu banyak tetapi yang tahu mendalam. Multum (tahu mendalam) tidak muncul dari sistem dril dan hapalan. Suatu sistem yang mendasarkan diri pada dril dan hafalan belaka hanya menumbuhkan yang multa (tahu banyak, tetapi tidak mendalam) yang siap pakai dalam arti siap-disuruh[2].
Bertolak dari pemikiran tersebut, maka menurut Mangunwijaya (2004:8) setidak-tidaknya terdapat tiga sasaran utama yang harus dikejar dalam pendidikan emansipatoris yakni: (1) manusia yang eksplorator, suka mencari, suka resiko demi sesuatu dalam terra incognita (wilayah tak dikenal). Manusia eksplorator yang tidak pernah puas dengan horison- horison yang ada tetapi terus membuat investigasi dan mencari. (2) manusia kreatif, manusia pembaharu yang menghormati tradisi dan warisan, meskipun demikian bersedia menjelajah ke dalam wilayah baru yang inovatif.  Dan (3) manusia integral, mampu membuat harmoni di antara yang banyak, yang sadar multidimensionalitas kehidupan dan realita, yang paham akan kemungkinan jalan-jalan alternatif atau tidak disintegrated[3]. 
Dengan demikian, pendidikan karakter mencakup berbagai aspek pengajaran dan pembelajaran bagi perkembangan personal. Bersifat multi-faceted, setiap komponen memberikan perbedaan tekanan tentang apa yang penting dan apa yang semestinya diajarkan. Area pengajaran dan pembelajarannya meliputi pengembangan kognitif, pembelajaran sosial dan emosional, dan etika/moral (baca  spiritual). Ia merupakan pendekatan yang holistik yang menghubungkan berbagai dimensi kecerdasan dengan ranah sosial dan sipil dari kehidupan siswa. Sikap dan nilai masyarakat diidentifikasi dan diteguhkan di sekolah dan komunitas (Latief, 2007:39).
Berkaitan dengan hal tersebut, Kidder dalam Latief (2007:40-41) memerikan beberapa aspek yang diperlukan untuk program pendidikan karakter yang berhasil. Aspek-aspek itu meliputi: (1) empowered, guru harus diberdayakan untuk mengajarkan pendidikan karakter, karena masyarakat menghendaki. (2) effective, Kidder menyatakan bahwa “ketika kita melakukan intervensi dalam proses pendidikan karakter, siswa menjadi mengerti tentang banyak hal yang sebelumnya tak mereka pahami. Suatu proses pendidikan yang benar-benar meningkatkan kemampuan penalaran mereka.” (3) extended into the community, komunitas harus mendorong dan menolong sekolah memahami nilai-nilai yang penting kemudian mendukungnya. Sebaliknya, dalam menyusun program pendidikan, sekolah harus melibatkan komunitas. (4) embedded, pendidikan karakter harus bersifat integratif dengan seluruh bidang studi. Dengan kata lain, integrasikan pendidikan hendaknya ke dalam seluruh rangkaian kurikulum dan proses pembelajarannya. (5) engaged, buatlah komunitas terlibat dengan menyodorkan topik-topik yang mereka rasa sangat penting dan dibutuhkan. Misalnya, ketika guru mengajarkan keterampilan komputer atau internet pada siswa, maka mulailah dengan membicarakan segi-segi etik dalam menggunakan komputer atau internet. (6) epistimological, kembangkan kerangka konseptual, suatu cara untuk mengembangkan soal etika. Mesti ada korespondensi dan koherensi antara cara berpikir tentang makna etik dengan upaya menolong siswa untuk mampu menerapkannya secara baik. (7) evaluatif, dalam hal ini Kidder menawarkan gradasi penerapannya yang meliputi (a) kesadaran etik, (b) kepercayaan diri untuk berpikir tentang dan membuat keputusan etik, (c) kapasitas untuk menggunakan kepercayaan diri itu secara praktis dalam kehidupan seseorang dan atau komunitas, dan (d) kapasitas untuk menjadi agen perubahan, yakni merealisasikan ide-ide etik dan membuat dunia yang berbeda.
Selain itu, hal penting lainnya yang ditekankan adalah pentingnya kaitan pengetahuan moral (moral judgment) dengan perilaku aktual (actual conduct) dalam siatuasi konkrit (moral situations). Problem lebih lanjut adalah bahwa keputusan moral sebagai tindakan aktual ditentukan dalam konteks situasi yang konkret. Situasi moral yang berbeda bisa mempengaruhi keputusan tindakan moral yang berbeda.   

III.   MULTIPLE-INTELLEGENCES
Pendidikan karakter seperti yang dipaparkan di atas baru merespon dimensi pembentukan karakter tertentu saja yakni kualitas moral, kepercayaan, dan kejujuran. Terdapat dimensi lain yang juga perlu diperhatikan dalam proses pendidikan, kesadaran akan potensi dan kapasitasnya yang khas membedakan dirinya dari orang lain. Aktualisasi kesadaran ini adalah pemupukan keandalan khusus seseorang yang memungkinkan memiliki daya tahan dan daya saing dalam perjuangan hidup. Keandalan ini berkaitan dengan optimalisasi ragam potensi yang memuliakan ragam intelegensi manusia[4].  
Pendidikan yang mengakui adanya ragam intelegensi berarti pendidikan yang mengakui adanya keunikan individu pembelajar. Pendidikan harus menghilangkan diskriminasi manusia berdasarkan jenis intelegensi tertentu (yang menganggap orang dengan intelegensi lain sebagai bodoh). Pendidikan harus memberi ruang aktualisasi bagi keragaman intelegensi (multiple-intellegences) siswa, yang mencakup kecerdasan linguistik, logik-matematik, spasial, musik, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan natural (Gardner, 1993).
Pendidikan yang berupaya memuliakan ragam intelegensi mengandung konsekwensi bagi pelaksanaan pembelajaran. Perlu ada perubahan orientasi pemahaman terhadap peserta didik, bahwa sesungguhnya tidak ada manusia bodoh. Karena setiap orang memiliki karakter dan potensi intelegensi yang berbeda-beda. Hal ini berimplikasi terhadap sistem pembelajaran dari class-centered menuju individual-centered. Kurikulum  inti dibuat lebih terbatas untuk memberi keleluasaan siswa mengambil mata pelajaran pilihan sesuai dengan minat dan bakatnya.
Dengan kata lain, esensi kecerdasan majemuk hendaknya (1) menghormati keunikan setiap siswa, (2) adanya beragam variasi cara belajar, (3) tersedianya sejumlah model penilaian, dan (4) terdapat cara yang hampir tak terbatas dalam mengaktualisasikan diri. Oleh karena itu, sekolah/guru dan masyarakat harus mereposisi diri dan pandangannya mengenai siswa dan sistem pembelajaran untuk secara bersama-sama membentuk “habitus baru” yang lebih cocok.
Konsekuensinya, peran guru bergeser dari peran tradisional. Dalam hal ini guru harus berperan sebagai penilai untuk memantau potensi dan kecenderungan masing-masing siswa, membantu siswa memilih mata pelajaran yang cocok, dan menghubungkan dengan komunitas belajar yang lebih luas guna mendapatkan pengalaman belajar langsung dari dunia nyata. Sebaliknya, guru juga harus diberi kebebasan yang lebih luas untuk mengembangkan kreativitas dan inovasinya dalam proses pengajaran.

IV.  EPILOG
Pendidikan karakter diberikan secara terfragmentasi, bersifat verbalisme satu arah, dan kehilangan konteks. Dengan kata lain, pendidikan karakter dilakukan secara terisolasi dengan tidak memberikan wahana kepada siswa suatu pengalaman terstruktur untuk menghubungkan moral judgement dan moral stuations yang dihadapinya.  
        Dalam arena yang berbeda, kita melakukan Non multum sed multa. Diskriminasi individu atas dasar intelegensi tertentu terus dirayakan, melalui sistem penjurusan dan ujian nasional sebagai ukuran utama dan satu-satunya untuk menempatkan orang sebagai warga kelas satu dan kelas dua. Kegagalan pada dua dimensi pendidikan karakter itu, nama Indonesia terkenal karena kisah yang buruk, sebagai bangsa yang korup, mentalitas lembek, dan daya saing lemah.

Daftar Pustaka
Gardner, H., 1995. Multiple Intellegences: A. Reader. New York: BasicBooks.
Hayatmoko. 2008. Sekolah, Alat Reproduksi Kesenjangan Sosial: Analisis Kritis Pierre Bourdieu, dalam Basis No. 07-08. Yogyakarta.
Illich, Ivan. 2008. Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Latief, Yudi. 2007. Hancur Karakter Hancur Bangsa: Urgensi Pendidikan Karakter, dalam  Basis No 07-08. Yogyakarta.
Manguwijaya, Y.B. 2004. Pendidikan Pemerdekaan. Dinamika Edukasi Dasar Misereor. Yogyakarta.
Sindhunata. 2008. Membuka Masa Depan Anak-Anak Kita: Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI. Yogyakarta: Kanisius.
Sindhunata. 2008. Melawan Pendidikan Turbo: Refleksi Ki Hadjar Dewantara, dalam Basis No. 07-08. Yogyakarta.
Sudiarja, A. 2008. Driyarkara: Pendidikan Kepribadian Nasional,  dalam  Basis No 07-08. Yogyakarta.


[1] Dalam situasi seperti itu, sistem pendidikan kita adalah belajar untuk seumur hidup. Dengan dilengkapi sikap seluruh masyarakat adalah sekolah, semua orang adalah guru, dan padaakhirnyasemua orang adalah murid. Selain itu membanjirnya arus informasi dengan segala bentuk dan wujud ke dalam masyarakat kita, di satu sisi sangat relevan dan berharga, tetapi di sisi lain bertentangan bahkan merugikan. Oleh karena itu, sistem pendidikan harus dapat memberi kemampuan pada siswa untuk dapat sampai pada informasi yang tepat dan kemudian menseleksinya.
[2] Model pembelajaran kita sesunguhnya berada dalam ”kebingungan”, model CTL sesungguhnya untuk mendapatkan yang multum, tetapi UNAS telah memerosotkan sistem itu ke dalam multa karena ketakutan yang dialami oleh para pengajar terhadap ancaman ketidaklulusan.
[3] Prinrip pendidikan yang sejati yakni ajrih-asih mendampingi, persuasi, sabar, ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun (menumbuhkan di dalam diri anak) karso, dan tut wuri handayani (siswa sebagai pelaku utama). Oleh karena itu, pendidikan atau sekolah merupakan habitus dalam berpikir, bertindak, dan bersikap bagi siswa maka jika habitus itu “negatif” maka sekolah bisa menjadi candu atau belunggu bagi anak-anak.  
[4] Sebagaimana dikatakan oleh Bourdieu bahwa pendidikan memberikan bukan sekedar skemata bagi perbedaan kelas dan prinsip fundamental bagi pemapanan tertib sosial, tetapi juga menjadi katalis bagi perjuangan kuasa yang kompetitif.