Senin, 14 Januari 2013

Tokoh Bahasa dan Sastra

HAMKA

Hamka
Hamka adalah seorang  sastrawan Indonesia. Selain sebagai sastrawan, ia juga dikenal sebagai  ulama, ahli filsafat, dan aktivis politik. Hamka adalah singkatan dari nama lengkapnya, yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Dalam dunia kepengarangan, Hamka juga kadang-kadang menggunakan nama samaran, yaitu A.S. Hamid, Indra Maha, dan Abu Zaki. Hamka lahir pada tanggal 16 Februari 1908, di Sungai Batang, Maninjau, Sumatera Barat. Ayahnya adalah Dr. Haji Abdul karim Amrullah, seorang ulama Islam yang sangat terkenal di Sumatera  dan pendiri Sumatera Thawalib di Padang Panjang , sedangkan ibunya  adalah  Siti Shafiyah Tanjung.  Perceraian orang tuanya menyebabkan Hamka sudah harus berpisah dengan ibunya pada saat usianya baru menginjak enam tahun.
Hamka mulai bersekolah  pada usia tujuh tahun di sekolah  dasar di Padang Panjang.  Konon, karena nakalnya. ia tidak tamat dari sekolah itu. Akan tetapi, ia mendapat pelajaran agama dan mengaji. Dalam kurun waktu tujuh tahun (1916—1923) Hamka berhasil menamatkan pendidikan agamanya dari dua tempat, yaitu Diniyah School dan Sumatera Thawalib (milik ayahnya). Sekolah yang didirikan oleh ayah Hamka itu menerapkan metode belajar-mengajar  seperti metode yang digunakan di sekolah-sekolah agama di Mesir. Bahkan, buku-buku dan kurikulumnya pun disesuaikan dengan buku-buku dan kurikulum yang digunakan di sekolah Al-Azhar, Mesir. Gelar doktor ayahnya memang berasal dari sekolah Al-Azhar, Mesir.

Selain rajin membaca buku-buku agama, Hamka juga suka membaca buku-buku sastra, seperti kaba, pantun, petatah-petitih, dan cerita rakyat Minangkabau. Pengalamannya membaca buku-buku sastra itulah sebagai cikal-bakal yang kelak menjadikannya sebagai sastrawan besar.
Untuk  meningkatkan pengetahuannya, pada tahun 1924 Hamka merantau ke Pulau Jawa. Mula-mula ia ke Yogyakarta, Surabaya, lalu Pekalongan. Ia mempelajari pergerakan Islam yang pada waktu itu sedang bergelora. Selama di Pulau Jawa, Hamka mendapat pengetahuan tentang pergerakan Islam dari H.O.S. Cokroaminoto, H. Fachruddin, R.M. Suryopranoto, Dan St. Mansyur.
Hamka hanya setahun tinggal di Pulau Jawa. Pada tahun 1925 ia kembali ke Padang Panjang dan mulai mencoba menjadi seorang pengarang. Hasilnya lahir setahun kemudian, sebuah novel berbahasa Minangkabau yang berjudul Si Sabariah (1926).
Pada tahun 1927 Hamka berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Ia tinggal selama enam bulan di kota itu. Selama enam bulan itu, ia berkesempatan mengasah kemampuannya berbahasa Arab juga mendapatkan pengalaman yang menjadi inspirasi yang sangat kuat baginya dalam menciptakan novel pertamanya (dalam bahasa Indonesia) yang berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah. Saat berada di Mekkah itu, ia berstatus sebagai koresponden harian Pelita Andalas.
Pada tanggal 5 April 1929 Hamka menikah dengan Siti Raham binti Endah Sutan. Siti Raham adalah anak dari salah seorang saudara laki-laki ibunya. Dari perkawinannya itu, ia dikaruniai sebelas orang anak, yaitu Hisyam, Zaky, Rusydi, Fakhri, Azizah, Irfan, Aliyah, Fathiyah, Hilmi, Afif, dan Syakib. Setelah istrinya meninggal dunia, ia menikah lagi dengan seorang wanita yang bernama Hj. Siti Khadijah.
Banyak sekali pekerjaan yang sudah dilakoni Hamka di sepanjang hidupnya, dan dalam berbagai bidang pula. Hamka sudah menjadi seorang wartawan sejak tahun 1920-an dari beberapa surat kabar, seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Hamka juga bekerja sebagai guru agama di Padang Panjang (1927), kemudian mendirikan cabang Muhammadiyah di Padang Panjang dan mengetuainya (1928). Pada tahun 1928 itu juga ia menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932 ia dipercayai oleh pimpinan Muhammadiyah sebagai mubalig ke Makassar, Sulawesi Selatan. Di sana, Ia mencoba melacak beberapa manuskrip sejarawan muslim lokal dan menjadi peneliti pribumi pertama yang mengungkap secara luas riwayat ulama besar Sulawesi Selatan, Syeikh Muhammad Yusuf al-Makassari. Selain itu, ia juga menerbitkan majalah al-Mahdi di sana. Pada tahun 1934, bersama dengan M. Yunan Nasution di Medan, ia memimpin majalah mingguan Pedoman Masyarakat. Pada majalah itulah untuk pertama kalinya ia memperkenalkan nama Hamka.
Pada tahun 1945 Hamka kembali ke Padang Panjang dan dipercayakan untuk memimpin Kulliyatul Muballighin. Kesempatan itu digunakannya untuk menyalurkan kemampuannya menulis dan lahirlah beberapa tulisannya, antara lain, Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, dan Dari Lembah Cita-Cita. Pada tahun 1949 Hamka memutuskan untuk meninggalkan Padang Panjang menuju Jakarta. Di Jakarta, ia menjadi koresponden majalah Pemandangan dan Harian Merdeka. Pada tahun 1950 ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya dan melakukan kunjungan ke beberapa negara Arab. Setelah kembali dari kunjungan itu, ia menulis beberapa novel, antara lain, Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Kemudian, ia juga menulis otobiografinya, Kenang-Kenangan Hidup (1951).
Pada tahun 1959 Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, Kairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa Melayu. Kemudian, pada tanggal 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Nasional Malaysia pada bidang kesusasteraan. Ia juga memperoleh gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo. Selanjutnya, pada tanggal 26 Juli 1975, Musyawarah Alim Ulama seluruh Indonesia melantik Hamka sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pertama, ia memangku jabatan itu sampai tahun 1981.
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahirannya berbahasa Arab, ia dapat meneliti karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah, seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui kemampuannya berbahasa Arab itu juga, ia meneliti karya sastrawan Perancis, Inggris, dan Jerman, seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti. Hamka merupakan salah satu orang Indonesia yang paling banyak menulis dan menerbitkan buku. Oleh karena itu, ia dijuluki sebagai Hamzah Fansuri di era modern.
Belakangan, ia mendapat sebutan Buya (berasal dari bahasa Arab, abi atau abuya, yang berarti ayahku), sebuah panggilan yang ditujukan untuk seseorang yang dihormati. Ia juga  dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia setelah dikeluarkannya Keppres No. 113/TK/Tahun 2011, pada tanggal 9 November 2011.
Hamka meninggal dunia pada tanggal 24 Juli 1981, dalam usia 73 tahun, dan dikebumikan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan.
Karya:
Novel
1.    Si Sabariah (dalam bahasa Minangkabau0. Padang Panjang. 1926.
2.    Di Bawah Lindungan Ka'bah. Jakarta: Balai Pustaka. Cet. I, 1938. Cet. VII,  1957.
3.    Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Cet. I, 1939. Cet. VIII. Bukittinggi: Nusantara. 1956. Cet. XIII.  Jakarta: Bulan Bintang. 1979.
4.    Laila Majnun. Jakarta: Balai Pustaka. 1939.
5.    Salahnya Sendiri. Medan: Cerdas. 1939.
6.    Keadilan Ilahi. Medan: Cerdas, 1940.
7.    Dijemput Mamaknya. Cet. I. 1949. Cet. III. Jakarta: Mega Bookstrore. 1962.
8.    Angkatan Baru. Medan: Cerdas. 1949.
9.    Cahaya Baru. Jakarta: Pustaka Nasional. 1950.
10.    Menunggu Beduk Berbunyi. Jakarta: Firma Pustaka Antara. 1950.
11.    Terusir. Jakarta: Firma Pustaka Antara. 1950.
12.    Merantau ke Deli. Jakarta: Jayabaku. Cet. I. 1938. Cet.III. 1959. Jakarta: Bulan Bintang. Cet. VII. 1977.
13.    Tuan Direktur. Jakarta: Jayamakmur. 1961.
Kumpulan Cerita Pendek
1.     Dalam Lembah Kehidupan.  Cet.I. 1941. Cet.V. Jakarta: Balai Pustaka. 1958.
2.    Cermin Kehidupan. Jakarta: Mega Bookstore. 1962.
Terjemahan
1.    Margaretta Gauthier (karya Alexandre Dumas Jr.  dan diterjemahkan dari bahasa Arab). Cet. II. 1950. Medan: Pustaka Madju. Cet.III. Pustaka Madju.   Cet. IV. Bukittinggi dan Jakarta: Nusantara. 1960. Cet,Vii.  Jakarta: Bulan Bintang. 1975.
Biografi
1.    Ayahku (riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan perjuangannya). Jakarta: Pustaka Wijaya. 1958.
Otobiografi
1.    Kenang-Kenangan Hidup.  4 Jilid. Jakarta: Bulan Bintang. 1979.
Kisah Perjalanan
1.     Mengembara di Lembah Nil.  Jakarta: NV. Gapura. 1951.
2.    Di Tepi Sungai Dajlah. Jakarta: Tintamas. 1953.
3.    Mandi Cahaya di Tanah Suci. Jakarta: Tintamas. 1953.
4.    Empat Bulan di Amerika. 2 Jilid. Jakarta: Tintamas. 1954.